!! SPOILER ALERT !!
Pemenang Best Foreign Language Film Academy Awards dan Golden Globe 1990 ini mempunyai durasi sepanjang 170 menit. Kisah berjalan mengikuti sentral kehidupan Salvatore yang menaruh minat atas dunia film. Dari masih imut-imut dan nakal (lha, ibunya aja hampir hopeless karena Toto lebih seneng main-main di bioskop ketimbang ada di rumah. Uang buat beli keperluan rumah pun dihabiskan buat beli tiket nonton di bioskop), sampai sukses menjadi "orang". Bersama Alfredo yang bekerja sebagai satu-satunya ahli pemutar proyektor di bioskop tersebut, Toto kecil mendapatkan figur ayah dalam diri Alfredo, sekaligus mendapatkan bekal ilmu yang menjadikannya seorang sutradara terkenal di usia dewasanya. Alfredo bukan hanya mengajarkan Toto cara memutar proyektor, tapi juga memberikan perhatian penuh atas ambisi pemuda kecil tersebut. Sebaliknya Toto juga memberikan rasa sayangnya terhadap Alfredo, kadang diimbuhi dengan "kecerdikan" (misalnya, ngasih contekan dengan syarat =D).
Dengan durasinya yang panjang itu, film ini nggak kerasa berjalan lama karena interaksi antara Toto dengan Alfredo yang sangat-sangat menarik menurut gue. Sebenernya sih, ada beberapa bagian yang rasanya mau gue buang aja karena agak merusak suasana .. misalnya bagian waktu Toto jatuh cinta dan patah hati. Agak-agak cengeng. But yeah, it's love .. dan bukankah cinta itu emang sebagian besar mengandung unsur kecengengan? =D.
Dihubungkan oleh premis yang juga sesuai dengan minat gue, lengkaplah sudah film ini menjadi salah satu film favorit. Judul film ini mengambil nama bioskop satu-satunya yang ada di kota. Dan sesuai dengan judulnya, film ini menggambarkan dunia yang membawa kegembiraan (kalo nggak mau disebut sebagai keajaiban) bagi penduduk kota. Ajang nonton dalam bioskop tua menjadi pusat pertemuan berbagai kalangan masyarakat pada saat itu. Baik yang tua atau muda, miskin atau kaya .. dengan segala kegiatan "sampingan" yang dilakukan selama menonton film .. termasuk menyusui bayi dan .. er .. er .. seks (pardon me). Mungkin tepat juga jika bioskop ini dianggap sebagai surga bagi para masyarakat. Dengan segala cara dan keterbatasan, mereka berusaha untuk bisa menonton film yang diputar .. karena bagi mereka, itulah sumber kebahagiaan mereka. Gue sendiri yang nonton bisa merasakan hal itu, diselingi pake cengar-cengir karena ngeliat kelakuan beragam dari para penonton bioskop tersebut.
Angkat topi buat Philippe Noiret. Nice. Juga untuk Salvatore Cascio yang lugu (aduh waktu dia ketiduran di tengah-tengah tugasnya sebagai putra altar *lol*). Plus Jacques Perrin yang kharisma dan charm-nya kuat, even without a word. Tapi gue lebih angkat topi plus jempol lagi buat Giuseppe Tornatore, yang bisa menulis dan membuat filmnya seindah ini. Setting kota Palermo, Sisilia, Italia digambar secara romantis (dengan segala kekumuhannya) .. dialog-dialognya penuh humor dan menyentuh .. dan yang terutama, penggambaran atas kecintaan dunia film yang sedemikian kuat dan sulit dilukiskan oleh kata-kata. One single moment that describes this perfectly, waktu Alfredo memproyeksikan film dari dalam ruangannya ke tembok bangunan di luar bioskop untuk memberikan kesempatan nonton bagi orang-orang yang desperate berkumpul di luar karena nggak kebagian tiket bioskop. Melihat adegan film terproyeksi dalam lingkup kecil dan "berjalan" ke luar ke lingkup raksasa .. it's a thrill. Love it. Share it.
Oh, oh .. and the ending. You gotta love the ending. It's quite a tearjerker .. but Salvatore is not crying like a baby. He's smiling with misty-eyed. He's laughing in his disbelief. He is totally amazed .. and so am I. The montage is beautiful .. even more with the beautiful love theme by Andrea Morricone. Once again. It. Is. Beautiful 1000x. (Note: Click here to hear Josh Groban's "Cinema Paradiso", from his first album).
Pemenang Best Foreign Language Film Academy Awards dan Golden Globe 1990 ini mempunyai durasi sepanjang 170 menit. Kisah berjalan mengikuti sentral kehidupan Salvatore yang menaruh minat atas dunia film. Dari masih imut-imut dan nakal (lha, ibunya aja hampir hopeless karena Toto lebih seneng main-main di bioskop ketimbang ada di rumah. Uang buat beli keperluan rumah pun dihabiskan buat beli tiket nonton di bioskop), sampai sukses menjadi "orang". Bersama Alfredo yang bekerja sebagai satu-satunya ahli pemutar proyektor di bioskop tersebut, Toto kecil mendapatkan figur ayah dalam diri Alfredo, sekaligus mendapatkan bekal ilmu yang menjadikannya seorang sutradara terkenal di usia dewasanya. Alfredo bukan hanya mengajarkan Toto cara memutar proyektor, tapi juga memberikan perhatian penuh atas ambisi pemuda kecil tersebut. Sebaliknya Toto juga memberikan rasa sayangnya terhadap Alfredo, kadang diimbuhi dengan "kecerdikan" (misalnya, ngasih contekan dengan syarat =D).
Dengan durasinya yang panjang itu, film ini nggak kerasa berjalan lama karena interaksi antara Toto dengan Alfredo yang sangat-sangat menarik menurut gue. Sebenernya sih, ada beberapa bagian yang rasanya mau gue buang aja karena agak merusak suasana .. misalnya bagian waktu Toto jatuh cinta dan patah hati. Agak-agak cengeng. But yeah, it's love .. dan bukankah cinta itu emang sebagian besar mengandung unsur kecengengan? =D.
Dihubungkan oleh premis yang juga sesuai dengan minat gue, lengkaplah sudah film ini menjadi salah satu film favorit. Judul film ini mengambil nama bioskop satu-satunya yang ada di kota. Dan sesuai dengan judulnya, film ini menggambarkan dunia yang membawa kegembiraan (kalo nggak mau disebut sebagai keajaiban) bagi penduduk kota. Ajang nonton dalam bioskop tua menjadi pusat pertemuan berbagai kalangan masyarakat pada saat itu. Baik yang tua atau muda, miskin atau kaya .. dengan segala kegiatan "sampingan" yang dilakukan selama menonton film .. termasuk menyusui bayi dan .. er .. er .. seks (pardon me). Mungkin tepat juga jika bioskop ini dianggap sebagai surga bagi para masyarakat. Dengan segala cara dan keterbatasan, mereka berusaha untuk bisa menonton film yang diputar .. karena bagi mereka, itulah sumber kebahagiaan mereka. Gue sendiri yang nonton bisa merasakan hal itu, diselingi pake cengar-cengir karena ngeliat kelakuan beragam dari para penonton bioskop tersebut.
Angkat topi buat Philippe Noiret. Nice. Juga untuk Salvatore Cascio yang lugu (aduh waktu dia ketiduran di tengah-tengah tugasnya sebagai putra altar *lol*). Plus Jacques Perrin yang kharisma dan charm-nya kuat, even without a word. Tapi gue lebih angkat topi plus jempol lagi buat Giuseppe Tornatore, yang bisa menulis dan membuat filmnya seindah ini. Setting kota Palermo, Sisilia, Italia digambar secara romantis (dengan segala kekumuhannya) .. dialog-dialognya penuh humor dan menyentuh .. dan yang terutama, penggambaran atas kecintaan dunia film yang sedemikian kuat dan sulit dilukiskan oleh kata-kata. One single moment that describes this perfectly, waktu Alfredo memproyeksikan film dari dalam ruangannya ke tembok bangunan di luar bioskop untuk memberikan kesempatan nonton bagi orang-orang yang desperate berkumpul di luar karena nggak kebagian tiket bioskop. Melihat adegan film terproyeksi dalam lingkup kecil dan "berjalan" ke luar ke lingkup raksasa .. it's a thrill. Love it. Share it.
Oh, oh .. and the ending. You gotta love the ending. It's quite a tearjerker .. but Salvatore is not crying like a baby. He's smiling with misty-eyed. He's laughing in his disbelief. He is totally amazed .. and so am I. The montage is beautiful .. even more with the beautiful love theme by Andrea Morricone. Once again. It. Is. Beautiful 1000x. (Note: Click here to hear Josh Groban's "Cinema Paradiso", from his first album).
0 comments:
Post a Comment