Waktu pertama kali gue dengar berita-berita pembuatan film Gie, gue minim info kalo ini merupakan film biografi. I thought it was just another teen movie, with Nicholas Saputra in it (tadinya malah gue pikir ini Gie ini nama cewek lho *gubrak*. Abis kepikiran sama Gia-nya Angelina Jolie .. heeee ..). Ternyata film ini diangkat dari catatan-catatan harian seorang pemuda bernama Soe Hok Gie.
Siapa sih Gie? Siapa dia, sampai Miles Production merasa kisahnya layak diangkat dalam film? Kenapa gue ga pernah denger namanya sebelum ini? Kenapa juga gue merasa wajib nonton Gie? Padahal gue anti sama yang namanya politik, dan ga pernah merasa harus tau siapa aja tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembangunan bangsa ini. Ga heran gue selalu ngantuk pas pelajaran PSPB dulu (guru-guruku yang tercinta, maafkan daku ..). Padahal gue sampe detik sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung bioskop, masih tetap buta dan menutup mata terhadap kisah dan berita tentang Soe Hok Gie. Jujur aja, gue kebawa sedikit hype .. Sulit rasanya menolak trio Mira Lesmana - Nicholas Saputra - Riri Riza setelah melihat apa yang mereka lakukan dalam Ada Apa dengan Cinta?. Dan gue kepingin tau gimana mereka memperkenalkan tokoh Gie ke gue.
Jadi, gue paksakan duduk manis selama lebih dari dua jam di bioskop, dengan melawan segala macam distraction yang ada. Cuih, ada anak kecil cewek yang ga capek-capeknya turun naik undakan, sambil mainin hp ortunya .. dan parahnya lagi, bentar-bentar dia nangkring di sandaran kursi penonton paling pinggir, sekali bahkan nangkring di hadapan gue sambil berpose seperti mau motoin gue pake hp-nya. Yang bener ajaaaaaa .. ortunya bener-bener ga tau diri ngajak anak seumur itu nonton Gie, terus ngelepas dia berkeliaran sesukanya. Mana itu anak pake nari-nari segala pas ngedenger soundtrack mengalun .. ga kesampaian jadi artis cilik ya, Dik? Terus di depan gue juga ada dua ABG yang terus-terusan ngobrol sama cekikikan ga jelas, sampe gue ga betah en sempet "shhhhh"-in mereka sampe 5 kali (sekali tepat di atas kepala mereka). Bosen ya, jadi pada ngobrol? Sama. Gue juga bosen, tapi gue ga berisik kayak mereka.
Bosen?? Unfortunately, yeah. Film ini terlalu berfokus pada narasi kehidupan Gie. Mungkin maksudnya adalah mengangkat kesendirian Gie dengan pemikirannya, akhirnya lupa kalo karakter utama pun sedikitnya perlu dikasih kebebasan buat berinteraksi dengan yang lain. Sama sekali ga ada chemistry yang muncul antara Gie dengan siapa pun yang ada di dalam film ini, dan banyak karakter-karakter pendukung lainnya menjadi hanya basa-basi belaka. Kenapa Robby Tumewu sebagai Babah membisu seribu bahasa? Siapa yang sebetulnya disebut sebagai "Manisku" di dalam surat Gie yang terakhir diberikan kepada sahabatnya, Ira? Seberapa dekat hubungan Gie dengan Herman Lantang juga gagal digambarkan .. not until the epilogue said "Soe Hok Gie meninggal di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang". Kenapa Wulan Guritno sebagai karakter yang gue kenal hanya dengan panggilan "Ta" (sorry if I missed her complete name) .. hanya ditampilkan seperti angin yang tiba-tiba datang dan menghilang dalam kehidupan Gie, dengan hubungan antar mereka yang sama sekali ga keliatan perkembangannya? Such a waste.
Jangan lagi ditanya soal akting. Kalo boleh gue kasih note positif, hanya akan gue berikan kepada Lukman Sardi sebagai Herman Lantang, Indra Birowo sebagai salah satu sahabat Gie (yang lagi-lagi ga gue tangkep namanya), dan pemeran Jin Han - sahabat Gie sejak kecil. Nico .. phew .. mungkin gue ga pernah tau apakah gesture yang dilakukan Nico sebagai Gie itu akurat ato ga. Buat gue, Nico menjadikan Gie sebagai sosok yang pendiam, tertutup .. dan canggung tanpa emosi. Baik dari cara berjalan, senyumnya sampai bicaranya. Gie seorang demonstran yang vokal?? Ga percaya deh gue.
Belum lagi hal-hal teknis lainnya. Setting yang gue yakin udah susah payah dibuat oleh para penata artistik boleh jadi mendapat point tinggi untuk film ini. Cuma, apakah jaman dulu itu perlu digambarkan dengan tone kuno? Warna-warna tanah mendominasi film, dan seperti sengaja dibuat kusam. Bahkan keindahan alam di puncak gunung dengan hamparan edelweiss (suer, baru kali ini gue bisa liat bentuk pohon edelweiss itu seperti apa) keliatan nyaris tanpa warna. Sayang banget.
Juga soundtrack yang sangat annoying. Biarpun gue suka banget sama lagu "Donna Donna" yang dilantunkan secara nostalgis dengan vokal dan petikan gitar yang jernih .. gue ga suka sebagian besar musik yang ada di dalam film. Terlalu hingar bingar di beberapa spot. Bahkan theme song-nya secara ga sopan dihadirkan dengan volume ga terkontrol, sampe mengalahkan suara narasi dari Gie. Ga tau salah dimana .. apa salah dari sound system studio tempat gue nonton .. apa memang dari sananya begitu, penata musik sama penata suara berebutan "kekuasaan"?? Yang jelas, gue gregetan .. kesel rasanya ga bisa nangkep apa yang lagi diomongin sama Gie. Rasanya mo teriak protes, tapi takut ngeganggu penonton yang lain. Rasanya mo nimpuk yang bikin film, tapi ga ada yang bisa ditimpuk .. *sigh*.
Gue ga salah prediksi kalo film ini tipikal biografi yang kebanyakan cenderung datar dan lambat (bahkan terlalu lambat, sampe gue merasa udah duduk selama tiga jam, waktu film baru berputar selama satu jam). Gue salah prediksi kalo ternyata, trio yang gue sebut di atas pun ga mampu membuat gue mencintai karakter Gie. Oke. Gie adalah seorang mahasiswa pencinta alam yang hidup di jaman pergolakan politik. Gie adalah seorang penulis yang yakin akan pemikirannya dan berani menyuarakan pendapatnya, walaupun itu berarti harus menentang arus dan menghadapi pengasingan dari orang-orang di sekitarnya. But that's it. That's all about it. Gue selalu berpikir biografi memang dasarnya monoton, tapi bukan berarti biografi ga bisa dituangkan semenarik mungkin. Membuat penonton yang ga kenal menjadi kenal, yang ga tertarik menjadi tertarik. Film ini mungkin akan berbicara banyak di ajang festival, mungkin. Tapi buat gue, Gie melupakan kodratnya sebagai suatu hiburan. Sia-sia rasanya gue mencari letupan-letupan yang mungkin bisa menjadikan film ini sedikit memorable. Karakter Gie yang gue bayangkan sebelumnya sebagai suatu sosok yang istimewa dan inspiratif, ternyata dihadirkan biasa-biasa aja dalam film ini. I don't get the message, and even more, I hardly felt entertained watching this movie. Mungkin gue yang terlalu bodoh untuk mengerti keindahan di balik tulisan-tulisan Gie .. untuk mengerti kekuatan di balik prinsip Gie dalam menentukan sikapnya di arena politik. Mungkin pandangan gue terhadap politik itu sendiri sedikit banyak mempengaruhi penilaian gue. I'm not sure, except that this movie is definitely not for me.
Gue sih ga menyesal udah nonton Gie. Gue hanya menyayangkan film ini ga bisa berbicara sebanyak yang gue kira. Dan setelah nonton gue mencari informasi dari sumber lain tentang Soe Hok Gie .. kerasa betapa banyak yang ga tergambarkan oleh film ini. It could have been better, much better than this.
Siapa sih Gie? Siapa dia, sampai Miles Production merasa kisahnya layak diangkat dalam film? Kenapa gue ga pernah denger namanya sebelum ini? Kenapa juga gue merasa wajib nonton Gie? Padahal gue anti sama yang namanya politik, dan ga pernah merasa harus tau siapa aja tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembangunan bangsa ini. Ga heran gue selalu ngantuk pas pelajaran PSPB dulu (guru-guruku yang tercinta, maafkan daku ..). Padahal gue sampe detik sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung bioskop, masih tetap buta dan menutup mata terhadap kisah dan berita tentang Soe Hok Gie. Jujur aja, gue kebawa sedikit hype .. Sulit rasanya menolak trio Mira Lesmana - Nicholas Saputra - Riri Riza setelah melihat apa yang mereka lakukan dalam Ada Apa dengan Cinta?. Dan gue kepingin tau gimana mereka memperkenalkan tokoh Gie ke gue.
Jadi, gue paksakan duduk manis selama lebih dari dua jam di bioskop, dengan melawan segala macam distraction yang ada. Cuih, ada anak kecil cewek yang ga capek-capeknya turun naik undakan, sambil mainin hp ortunya .. dan parahnya lagi, bentar-bentar dia nangkring di sandaran kursi penonton paling pinggir, sekali bahkan nangkring di hadapan gue sambil berpose seperti mau motoin gue pake hp-nya. Yang bener ajaaaaaa .. ortunya bener-bener ga tau diri ngajak anak seumur itu nonton Gie, terus ngelepas dia berkeliaran sesukanya. Mana itu anak pake nari-nari segala pas ngedenger soundtrack mengalun .. ga kesampaian jadi artis cilik ya, Dik? Terus di depan gue juga ada dua ABG yang terus-terusan ngobrol sama cekikikan ga jelas, sampe gue ga betah en sempet "shhhhh"-in mereka sampe 5 kali (sekali tepat di atas kepala mereka). Bosen ya, jadi pada ngobrol? Sama. Gue juga bosen, tapi gue ga berisik kayak mereka.
Bosen?? Unfortunately, yeah. Film ini terlalu berfokus pada narasi kehidupan Gie. Mungkin maksudnya adalah mengangkat kesendirian Gie dengan pemikirannya, akhirnya lupa kalo karakter utama pun sedikitnya perlu dikasih kebebasan buat berinteraksi dengan yang lain. Sama sekali ga ada chemistry yang muncul antara Gie dengan siapa pun yang ada di dalam film ini, dan banyak karakter-karakter pendukung lainnya menjadi hanya basa-basi belaka. Kenapa Robby Tumewu sebagai Babah membisu seribu bahasa? Siapa yang sebetulnya disebut sebagai "Manisku" di dalam surat Gie yang terakhir diberikan kepada sahabatnya, Ira? Seberapa dekat hubungan Gie dengan Herman Lantang juga gagal digambarkan .. not until the epilogue said "Soe Hok Gie meninggal di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang". Kenapa Wulan Guritno sebagai karakter yang gue kenal hanya dengan panggilan "Ta" (sorry if I missed her complete name) .. hanya ditampilkan seperti angin yang tiba-tiba datang dan menghilang dalam kehidupan Gie, dengan hubungan antar mereka yang sama sekali ga keliatan perkembangannya? Such a waste.
Jangan lagi ditanya soal akting. Kalo boleh gue kasih note positif, hanya akan gue berikan kepada Lukman Sardi sebagai Herman Lantang, Indra Birowo sebagai salah satu sahabat Gie (yang lagi-lagi ga gue tangkep namanya), dan pemeran Jin Han - sahabat Gie sejak kecil. Nico .. phew .. mungkin gue ga pernah tau apakah gesture yang dilakukan Nico sebagai Gie itu akurat ato ga. Buat gue, Nico menjadikan Gie sebagai sosok yang pendiam, tertutup .. dan canggung tanpa emosi. Baik dari cara berjalan, senyumnya sampai bicaranya. Gie seorang demonstran yang vokal?? Ga percaya deh gue.
Belum lagi hal-hal teknis lainnya. Setting yang gue yakin udah susah payah dibuat oleh para penata artistik boleh jadi mendapat point tinggi untuk film ini. Cuma, apakah jaman dulu itu perlu digambarkan dengan tone kuno? Warna-warna tanah mendominasi film, dan seperti sengaja dibuat kusam. Bahkan keindahan alam di puncak gunung dengan hamparan edelweiss (suer, baru kali ini gue bisa liat bentuk pohon edelweiss itu seperti apa) keliatan nyaris tanpa warna. Sayang banget.
Juga soundtrack yang sangat annoying. Biarpun gue suka banget sama lagu "Donna Donna" yang dilantunkan secara nostalgis dengan vokal dan petikan gitar yang jernih .. gue ga suka sebagian besar musik yang ada di dalam film. Terlalu hingar bingar di beberapa spot. Bahkan theme song-nya secara ga sopan dihadirkan dengan volume ga terkontrol, sampe mengalahkan suara narasi dari Gie. Ga tau salah dimana .. apa salah dari sound system studio tempat gue nonton .. apa memang dari sananya begitu, penata musik sama penata suara berebutan "kekuasaan"?? Yang jelas, gue gregetan .. kesel rasanya ga bisa nangkep apa yang lagi diomongin sama Gie. Rasanya mo teriak protes, tapi takut ngeganggu penonton yang lain. Rasanya mo nimpuk yang bikin film, tapi ga ada yang bisa ditimpuk .. *sigh*.
Gue ga salah prediksi kalo film ini tipikal biografi yang kebanyakan cenderung datar dan lambat (bahkan terlalu lambat, sampe gue merasa udah duduk selama tiga jam, waktu film baru berputar selama satu jam). Gue salah prediksi kalo ternyata, trio yang gue sebut di atas pun ga mampu membuat gue mencintai karakter Gie. Oke. Gie adalah seorang mahasiswa pencinta alam yang hidup di jaman pergolakan politik. Gie adalah seorang penulis yang yakin akan pemikirannya dan berani menyuarakan pendapatnya, walaupun itu berarti harus menentang arus dan menghadapi pengasingan dari orang-orang di sekitarnya. But that's it. That's all about it. Gue selalu berpikir biografi memang dasarnya monoton, tapi bukan berarti biografi ga bisa dituangkan semenarik mungkin. Membuat penonton yang ga kenal menjadi kenal, yang ga tertarik menjadi tertarik. Film ini mungkin akan berbicara banyak di ajang festival, mungkin. Tapi buat gue, Gie melupakan kodratnya sebagai suatu hiburan. Sia-sia rasanya gue mencari letupan-letupan yang mungkin bisa menjadikan film ini sedikit memorable. Karakter Gie yang gue bayangkan sebelumnya sebagai suatu sosok yang istimewa dan inspiratif, ternyata dihadirkan biasa-biasa aja dalam film ini. I don't get the message, and even more, I hardly felt entertained watching this movie. Mungkin gue yang terlalu bodoh untuk mengerti keindahan di balik tulisan-tulisan Gie .. untuk mengerti kekuatan di balik prinsip Gie dalam menentukan sikapnya di arena politik. Mungkin pandangan gue terhadap politik itu sendiri sedikit banyak mempengaruhi penilaian gue. I'm not sure, except that this movie is definitely not for me.
Gue sih ga menyesal udah nonton Gie. Gue hanya menyayangkan film ini ga bisa berbicara sebanyak yang gue kira. Dan setelah nonton gue mencari informasi dari sumber lain tentang Soe Hok Gie .. kerasa betapa banyak yang ga tergambarkan oleh film ini. It could have been better, much better than this.
0 comments:
Post a Comment