Irreversible

September 4, 2003 1 comments
Irreversible menceritakan tentang sepasang kekasih bernama Alex dan Marcus diundang untuk datang ke pesta, bersama dengan sahabat mereka, Pierre yang dulunya merupakan bekas kekasih Alex. Melihat tingkah laku Marcus di dalam pesta yang liar itu, Alex memutuskan untuk pulang sendirian tanpa bisa dilarang oleh Marcus dan Pierre. Dan apa yang terjadi kemudian membuat mereka bertiga terjebak ke dalam suatu bentuk kejahatan dan kekerasan seksual, serta pembalasan dendam brutal.

Judul dari film yang berbahasa Perancis ini rasanya udah bisa memberikan sedikit gambaran, bahwa apa yang sudah terjadi nggak akan bisa diulang. Dan setiap kisah akan diakhiri oleh salah satu dari dua pilihan: baik atau buruk. Sutradara Gaspar Noe menjadikan filmnya ini sangat efektif dalam menterjemahkan arti dari kata "irreversible" ini. Dimulai dari rangkaian kredit yang bergulir dari bawah ke atas di awal kisah, dengan sebagian huruf yang ditulis secara terbalik, demikian juga adegan-adegan dari Irreversible ditayangkan. Setiap adegan yang diambil dalam satu kali pengambilan gambar, diberi interval sekian detik sebelum berganti ke adegan lain, yang menggambarkan kejadian yang terjadi sebelumnya. Gerak kamera yang terus berputar ke setiap sudut di bagian awal perlahan-lahan berubah menjadi gerak kamera yang tetap tanpa bergeming, khusus di satu adegan, dan mulai bergerak normal dan stabil sampai ke akhir film. Adegan-adegan suram yang tadinya berwarna merah garang dan dilatarbelakangi oleh musik keras dan monoton juga perlahan berganti menjadi adegan-adegan yang lebih lembut dengan musik latar klasik yang indah.

Monica Bellucci dan Vincent Cassel yang merupakan pasangan suami istri dalam kehidupan sebenarnya, semula ditarik oleh Noe untuk membintangi Irreversible yang bertema kisah cinta sepasang suami istri. Tapi kemudian Noe melakukan perubahan tema dengan mengangkat kekerasan sebagai misi utama. Dan walaupun para aktor bisa memainkan perannya dengan sebaik mungkin, gue ngeliat mereka itu hanya sebagai pelaku-pelaku yang menghadirkan dan mewujudkan keahlian sang sutradara yang unik.

Rasanya gue termasuk salah seorang daripada sebagian penonton yang merasa harus berterima kasih kepada Noe atas gaya penyutradaraannya ini. Irreversible bakalan menjadi film yang sama sekali nggak bisa gue tonton seandainya dibuat secara kronologi. Menyaksikan kekerasan demi kekerasan, dengan penglihatan seperti orang yang sedang menaiki wahana roller-coaster, gue terpaksa harus beberapa kali memfokuskan pandangan gue ke arah lain biar nggak pusing. Adegan Marcus dan Pierre yang mencari Le Tenia benar-benar menguji coba saraf kesabaran gue, apalagi ditambah dengan musik yang bunyinya seperti terompet gas ditiup itu. Ada satu titik dimana gue pengen banget menimpuk karakter-karakter yang ada di sana sambil menyumpah-nyumpah. Untungnya dengan gambar yang berputar-putar begitu, adegan-adegan yang nggak pengen gue liat cuma keliatan sekilas-sekilas.

Waktu gerak kamera mulai menjadi stabil, gue merasa jauh lebih baik dan gue optimis bisa menyelesaikan tontonan sampai akhir. Padahal, masih ada adegan lain yang lebih menjengkelkan. Melihat Alex diserang di terowongan bawah tanah, sudut pandang kamera seakan mencerminkan sudut pandang gue yang cuma bisa duduk dan menyaksikan Alex berjuang buat melepaskan diri dari si germo keparat itu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Menyakitkan karena gue sama sekali nggak bisa mengalihkan pandangan gue ke arah lain seperti yang gue buat sebelumnya. Di depan gue, seorang pria sedang memamerkan kekuasaannya kepada seorang wanita yang biasanya dianggap sebagai makhluk lemah tanpa arti, dengan cara yang paling menjijikkan. Suatu bentuk pelecehan seksual yang sudah menjadi hal umum di dalam kehidupan sehari-hari. Rasa geram, putus asa dan pikiran-pikiran "seandainya .." mulai bermunculan di benak gue. Tapi yang terjadi, tetap terjadi. Gue cuma bersyukur bahwa Noe nggak menggambarkan Alex sedemikian lemah. Gue juga masih punya keinginan buat menantikan adegan-adegan selanjutnya, yang gue tau pasti akan berakhir dengan lebih baik, dan yang gue harapkan akan sedikit menghapus bayangan-bayangan gelap dari hal-hal yang udah gue saksikan. Dan memang, Noe cukup bermurah hati dengan akhir filmnya.

Irreversible adalah sebuah film yang nggak mudah dilupakan. Dipergunjingkan karena gambaran kekerasannya yang nggak ada ampun, tapi diberikan nilai tinggi oleh para kritisi. Apa yang dihadirkan Noe membuktikan bahwa kekerasan bukanlah suatu hal yang patut buat diulas secara indah dan manis. Gue nggak menyesal udah meluangkan waktu gue buat nonton film seperti ini. Tapi gue nggak bakalan sanggup kalo diminta nonton ulang. Dan untuk sementara waktu, gue bakalan jauh-jauh dari segala bentuk terowongan, dan gue mulai berpikir mungkin ada baiknya juga gue belajar menembak dan membeli senjata api. Ada yang berani sentuh gue tanpa permisi, bakalan langsung gue tembak di tempat.


Footage:
I will not post any trailer due to nudity content. If you want to see, click here at your own risk.

1 comments:

  • Manusia biasa said...

    Film tahun 2002 terus ada yang ulas ditahun 2003, sepertinya anda orang kaya ditahun itu, saya aja baru nonton ini film tahun 2022, dan apakah yang nulis blog ini masih aktif akun nya, entahlah.

Post a Comment

 

©Copyright 2011 Imitating the Critics | TNB