Harry Potter terbukti merupakan salah satu franchise film yang paling ditunggu tahun ini (mungkin satu-satunya, karena udah ga ada lagi The Lord of the Rings dan Star Wars). Penggemar film dan penggemar buku numplek blek, pada ga sabaran buat jadi yang pertama menyaksikan duel face to face antara Harry dengan Lord Voldemort. Sayangnya, dengan kebijakan 21 yang memberlakukan penjualan tiket setiap show setiap waktu, banyak calon penonton yang kecele .. mungkin memang mesti camping dulu di luar lobby bioskop dari sejak semalam sebelumnya. Gue termasuk lucky, nonton pertama langsung dapet tiket .. nonton yang kedua, walaupun mesti beli tiket show berikutnya, gue ga perlu wara-wiri di mal karena bisa pulang dulu ke rumah .. bioskopnya deket seh =D.
Kisah "Harry Potter and the Goblet of Fire" termasuk kisah yang lumayan sulit gue cerna. Gue baca bukunya sampe dua kali (satu versi Indonesia, satu versi Bloomsburry) .. dan gue masih ga nemuin jawaban atas beberapa hal. Though I love the book, gue belom pernah baca lagi setelah itu .. sengaja disimpen sampe filmnya beredar. Hal yang sama gue buat juga untuk film-film Harry Potter sebelumnya (kecuali "Harry Potter and the Sorcerer's Stone" yang gue tonton dulu filmnya, baru beli bukunya). It helps .. karena gue jadinya sedikit lupa sama detail dalam buku. Dan kebalikannya, gue jadi bisa menerima semua film Harry Potter dengan sangat baik .. karena gue ga perlu (dan ga mau) susah-susah membandingkan detail dalam buku dengan detail dalam film. It will be useless anyway .. buku dan film adalah dua media yang berlainan (I think I have said this magic sentence for a couple of times). Selama filmnya masih menjaga storyline seperti yang ditulis oleh J.K. Rowling di dalam buku, it's fair enough for me. I am glad to know .. that even those 4 movies have 3 different directors, their style and work in Harry Potter have never failed to amuse me.
Kalo Harry Potter and the Sorcerer's Stone dan Harry Potter and the Chamber of Secrets masih bisa jadi tontonan anak-anak .. pergantian sutradara Chris Columbus ke Alfonso Cuaron untuk Harry Potter and the Prisoner of Azkaban secara nyata udah mengubah tone dari magical menjadi real. And I thought, it could not get any darker than the third movie, which originally has the most complicated and twisted plot. I was wrong. Mike Newell meneruskan langkah yang udah diambil oleh Cuaron .. dan Harry Potter and the Goblet of Fire menjadi film yang lebih kelam. Sihir yang tadinya membuat penonton penasaran dan terkagum-kagum, sekarang bisa membuat penonton mengkerut ketakutan. Even score Harry Potter yang theme-nya berciri seperti music box itu, kali ini dilepas John Williams untuk ditangani oleh Patrick Doyle .. dan menjadi lebih dewasa .. misterius sekaligus indah seperti perkembangan filmnya.
Mungkin perlu campur tangan keajaiban untuk bisa mewujudkan kisah setebal batu bata (bisa buat ganjelan truk) ke dalam satu film sepanjang 157 menit. But there .. you got your story .. simplified, but intact. Subplot-subplot ga penting bisa dieliminate dengan mulus, dan fokus dijaga hanya untuk Triwizard Championship yang membawa pertemuan Harry Potter dengan si Pangeran Kegelapan. Ada satu dua yang sepertinya memang harus diselipkan demi story background dan relasi dari kisah sebelumnya, seperti Piala Dunia Quidditch, Sirius Black dan semua yang berhubungan dengan Rita Skeeter (I still think the movie can live without that annoying reporter, though. The same thing applies for Black, I couldn't even believe they put Gary Oldman's name on the credit. And the Quidditch Cup was too short, but I admit it was too awesome to pass. Look at that stadium! Whoa.) .. but overall, ini sama sekali ga mengganggu jalannya film. Penonton yang belom baca bukunya pun ga perlu pusing-pusing .. they can enjoy the whole action without losing trace (ato masih ada yang bingung juga nonton Harry Potter? Itu berarti dia masih terlalu kecil buat ngerti .. or mungkin dia mesti nonton sambil pegangan .. hehehehe ..).
Acting wise, I don't give a damn =D. I'll never give harsh comments on Daniel Radcliffe, Emma Watson and Rupert Grint. I knew the characters from them .. they are the ones who introduce me to the magic of Harry Potter movies. Walaupun yeah, masih ada senyum-senyum canggung .. masih ada emosi-emosi yang ga cocok .. they are the actors who bring Harry Potter, Hermione Granger and Ron Weasley alive. And I would very much like them to stay until the very last (hear me out, producers! Don't ever replace them with any other actors, don't you dare!). Di film yang ke-4 ini, Harry bertambah ganteng (o .. Harry .. gue suka banget ngeliat dia pas sebelum nyemplung ke tugas ke dua .. you know .. "Harry, you look tensed" .. "Do I?" .. wuahaha .. sinisnya berasa banget gitu lho), Hermione bertambah cantik (sapa yang bilang dia jelek pas nurunin tangga mau nyambut Krum? Sini, biar gue beliin boorwater buat cuci mata), Ron bertambah tinggi (dan makin mirip sama kedua kakak kembarnya) .. persahabatan mereka mulai diwarnai kecemburuan .. and a tiny sparkle of love.
Yang sedikit gue sesalkan malah dua karakter utama lainnya .. Albus Dumbledore dan Lord Voldemort. Sejak Michael Gambon menggantikan Richard Harris dalam film yang ketiga, baru di film yang keempat ini gue liat ada perbedaan yang significant. Dumbledore keliatan lebih casual, sering muncul tanpa kacamata bulan sabit-nya (apa udah ganti pake contact lens?) .. dan yang jelas, keliatan kurang kebapakan, kurang berwibawa, dan kurang "sakti" dalam gesture-nya. Remember, Albus Dumbledore adalah salah satu yang paling ditakuti oleh Lord Voldemort. And in this movie, I hardly see that. Sedangkan Ralph Fiennes, I never doubt him as an evil (he's pretty much on track with that flat nose especially) .. but the way he confronted Harry, with all the hand waving thing, the way he walked .. talked .. it's far from my picture of Lord Voldemort. He should be scarier than those Dementors in the third movie (or would you like to compare him with Lord Sith in Star Wars? Heheheh ..) .. gue bayangkan Lord Voldemort itu seorang pria yang berjalan dan bersikap seperti bangsawan sesat dan angkuh, berbicara dengan tone suara yang datar dan dingin (kalo perlu dengan suara bisik-bisik mengerikan, seperti waktu dia berbicara dengan Nagini) .. dan bukan seperti pria over-zealous setengah banci begitu. Anyway, mungkin Lord Voldemort masih terlalu excited karena bisa kembali berwujud manusia.
Harry Potter and the Goblet of Fire definitely memang gelap. Dari kisahnya, dari karakter-karakternya (I want to cut that Barty Crouch, Jr.'s tongue off .. melet-melet mulu kayak kadal), dari perwujudan mahluk-mahluknya (kebayang naga seperti apa? kebayang merman seperti apa? Not pretty, really. Forget about Mulan's Mushu and The Little Mermaid's Ariel), dari dominasi warna biru dan abu-abu yang suram sepanjang film (sepertinya bisa membuat sebagian penonton silau begitu melihat cahaya di luar studio bioskop), dari angle kamera yang mengambil sudut miring buat menambah gedoran suspense, dari musiknya yang bisa mengubah tawa menjadi keheningan mencekam dalam hitungan detik .. tapi di sini juga bisa gue temuin humor yang ga murahan (siapa yang ga ketawa pas di adegan Ron ngerumpi sama Harry soal pesta di dalam kelas Snape? Ato pas Harry digodain sama Myrtle di kamar mandi Prefek?). And you know what? I love all of it. Very much. It's wicked.
Kisah "Harry Potter and the Goblet of Fire" termasuk kisah yang lumayan sulit gue cerna. Gue baca bukunya sampe dua kali (satu versi Indonesia, satu versi Bloomsburry) .. dan gue masih ga nemuin jawaban atas beberapa hal. Though I love the book, gue belom pernah baca lagi setelah itu .. sengaja disimpen sampe filmnya beredar. Hal yang sama gue buat juga untuk film-film Harry Potter sebelumnya (kecuali "Harry Potter and the Sorcerer's Stone" yang gue tonton dulu filmnya, baru beli bukunya). It helps .. karena gue jadinya sedikit lupa sama detail dalam buku. Dan kebalikannya, gue jadi bisa menerima semua film Harry Potter dengan sangat baik .. karena gue ga perlu (dan ga mau) susah-susah membandingkan detail dalam buku dengan detail dalam film. It will be useless anyway .. buku dan film adalah dua media yang berlainan (I think I have said this magic sentence for a couple of times). Selama filmnya masih menjaga storyline seperti yang ditulis oleh J.K. Rowling di dalam buku, it's fair enough for me. I am glad to know .. that even those 4 movies have 3 different directors, their style and work in Harry Potter have never failed to amuse me.
Kalo Harry Potter and the Sorcerer's Stone dan Harry Potter and the Chamber of Secrets masih bisa jadi tontonan anak-anak .. pergantian sutradara Chris Columbus ke Alfonso Cuaron untuk Harry Potter and the Prisoner of Azkaban secara nyata udah mengubah tone dari magical menjadi real. And I thought, it could not get any darker than the third movie, which originally has the most complicated and twisted plot. I was wrong. Mike Newell meneruskan langkah yang udah diambil oleh Cuaron .. dan Harry Potter and the Goblet of Fire menjadi film yang lebih kelam. Sihir yang tadinya membuat penonton penasaran dan terkagum-kagum, sekarang bisa membuat penonton mengkerut ketakutan. Even score Harry Potter yang theme-nya berciri seperti music box itu, kali ini dilepas John Williams untuk ditangani oleh Patrick Doyle .. dan menjadi lebih dewasa .. misterius sekaligus indah seperti perkembangan filmnya.
Mungkin perlu campur tangan keajaiban untuk bisa mewujudkan kisah setebal batu bata (bisa buat ganjelan truk) ke dalam satu film sepanjang 157 menit. But there .. you got your story .. simplified, but intact. Subplot-subplot ga penting bisa dieliminate dengan mulus, dan fokus dijaga hanya untuk Triwizard Championship yang membawa pertemuan Harry Potter dengan si Pangeran Kegelapan. Ada satu dua yang sepertinya memang harus diselipkan demi story background dan relasi dari kisah sebelumnya, seperti Piala Dunia Quidditch, Sirius Black dan semua yang berhubungan dengan Rita Skeeter (I still think the movie can live without that annoying reporter, though. The same thing applies for Black, I couldn't even believe they put Gary Oldman's name on the credit. And the Quidditch Cup was too short, but I admit it was too awesome to pass. Look at that stadium! Whoa.) .. but overall, ini sama sekali ga mengganggu jalannya film. Penonton yang belom baca bukunya pun ga perlu pusing-pusing .. they can enjoy the whole action without losing trace (ato masih ada yang bingung juga nonton Harry Potter? Itu berarti dia masih terlalu kecil buat ngerti .. or mungkin dia mesti nonton sambil pegangan .. hehehehe ..).
Acting wise, I don't give a damn =D. I'll never give harsh comments on Daniel Radcliffe, Emma Watson and Rupert Grint. I knew the characters from them .. they are the ones who introduce me to the magic of Harry Potter movies. Walaupun yeah, masih ada senyum-senyum canggung .. masih ada emosi-emosi yang ga cocok .. they are the actors who bring Harry Potter, Hermione Granger and Ron Weasley alive. And I would very much like them to stay until the very last (hear me out, producers! Don't ever replace them with any other actors, don't you dare!). Di film yang ke-4 ini, Harry bertambah ganteng (o .. Harry .. gue suka banget ngeliat dia pas sebelum nyemplung ke tugas ke dua .. you know .. "Harry, you look tensed" .. "Do I?" .. wuahaha .. sinisnya berasa banget gitu lho), Hermione bertambah cantik (sapa yang bilang dia jelek pas nurunin tangga mau nyambut Krum? Sini, biar gue beliin boorwater buat cuci mata), Ron bertambah tinggi (dan makin mirip sama kedua kakak kembarnya) .. persahabatan mereka mulai diwarnai kecemburuan .. and a tiny sparkle of love.
Yang sedikit gue sesalkan malah dua karakter utama lainnya .. Albus Dumbledore dan Lord Voldemort. Sejak Michael Gambon menggantikan Richard Harris dalam film yang ketiga, baru di film yang keempat ini gue liat ada perbedaan yang significant. Dumbledore keliatan lebih casual, sering muncul tanpa kacamata bulan sabit-nya (apa udah ganti pake contact lens?) .. dan yang jelas, keliatan kurang kebapakan, kurang berwibawa, dan kurang "sakti" dalam gesture-nya. Remember, Albus Dumbledore adalah salah satu yang paling ditakuti oleh Lord Voldemort. And in this movie, I hardly see that. Sedangkan Ralph Fiennes, I never doubt him as an evil (he's pretty much on track with that flat nose especially) .. but the way he confronted Harry, with all the hand waving thing, the way he walked .. talked .. it's far from my picture of Lord Voldemort. He should be scarier than those Dementors in the third movie (or would you like to compare him with Lord Sith in Star Wars? Heheheh ..) .. gue bayangkan Lord Voldemort itu seorang pria yang berjalan dan bersikap seperti bangsawan sesat dan angkuh, berbicara dengan tone suara yang datar dan dingin (kalo perlu dengan suara bisik-bisik mengerikan, seperti waktu dia berbicara dengan Nagini) .. dan bukan seperti pria over-zealous setengah banci begitu. Anyway, mungkin Lord Voldemort masih terlalu excited karena bisa kembali berwujud manusia.
Harry Potter and the Goblet of Fire definitely memang gelap. Dari kisahnya, dari karakter-karakternya (I want to cut that Barty Crouch, Jr.'s tongue off .. melet-melet mulu kayak kadal), dari perwujudan mahluk-mahluknya (kebayang naga seperti apa? kebayang merman seperti apa? Not pretty, really. Forget about Mulan's Mushu and The Little Mermaid's Ariel), dari dominasi warna biru dan abu-abu yang suram sepanjang film (sepertinya bisa membuat sebagian penonton silau begitu melihat cahaya di luar studio bioskop), dari angle kamera yang mengambil sudut miring buat menambah gedoran suspense, dari musiknya yang bisa mengubah tawa menjadi keheningan mencekam dalam hitungan detik .. tapi di sini juga bisa gue temuin humor yang ga murahan (siapa yang ga ketawa pas di adegan Ron ngerumpi sama Harry soal pesta di dalam kelas Snape? Ato pas Harry digodain sama Myrtle di kamar mandi Prefek?). And you know what? I love all of it. Very much. It's wicked.
0 comments:
Post a Comment