Sejak gue liat sekilas trailernya di TV, Drumline menjadi salah satu film yang paling gue tunggu. Gue tertarik sama idenya yang mengangkat marching band, yang menurut gue original banget. Sampai tadi malam, adik gue dengan bangganya menyodorkan DVD Drumline, sebagai bukti sponsor perusahaan tempatnya bekerja yang menyediakan drum "Pearl" untuk film ini.
Drumline menceritakan tentang Devon Miles, seorang pemuda berkulit hitam yang mendapatkan beasiswa untuk bergabung dengan Atlanta A&T Marching Band University. Walaupun Miles mempunyai bakat yang kuat dalam bermain drum, yang bahkan melebihi kemampuan teman-teman maupun seniornya, dia dipaksa untuk menyadari dan mempelajari bahwa keberhasilan suatu marching band adalah hasil kerja team, dan bukan hasil kerja perorangan. One band, one sound.
Didominasi oleh aktor-aktor berkulit hitam, seperti Nick Cannon sebagai Devon Miles dan Orlando Jones sebagai Dr. Lee, sang konduktor Atlanta A&T Marching Band, Leonard Roberts sebagai Sean Taylor, sang senior .. Drumline berhasil menampilkan kesan sebagai sebuah film yang bersih dan sportif. Murni menggambarkan suasana para remaja yang dengan kecintaan mereka masing-masing terhadap seni musik, bertekad untuk menjadikan team mereka sebagai yang terbaik. Issue ras dan gender yang samar-samar muncul oleh hadirnya seorang kulit putih dan seorang wanita di dalam team mereka, dengan lancar dan manis bisa dinetralisir oleh humor.
Barisan pemain drum di dalam suatu marching band memiliki tantangan yang terberat. Diperlukan kekompakan, kedisiplinan dan mental yang tinggi untuk bisa memukulkan tongkat ke atas drum dengan irama yang tepat, mengharmonisasikan suara-suara drum yang monoton dengan suara alat-alat musik lainnya . Lebih daripada itu, sutradara Charles Stone III menggambarkan Drumline ke sisi showmanship yang sangat menghibur. Para pemain drum bukan hanya merupakan pemain garis belakang dengan snare drum dan bass drum yang besar dan berat menggantung di pundak mereka, tapi mereka juga bisa berperan sebagai pemain garis depan yang mampu mengangkat suasana hati para penontonnya. Dengan koreografi yang cantik, komposisi lagu dengan beat yang atraktif, dan permainan drum yang sangat-sangat mengesankan, marching band seakan lepas dari identiknya mereka dengan upacara-upacara formal. Sudut-sudut kamera yang dinamis mampu merekam setiap gerakan, setiap kilau yang muncul dari drum, simbal dan alat musik lainnya, berpadu dengan cerahnya kostum para pemain .. membawa pergelaran marching band ke dalam suasana pesta yang meriah, semegah dan seindah konser seni.
Gue jadi sedikit menyesal kenapa gue milih bermain lira daripada bermain drum waktu di sekolah dulu.
Drumline menceritakan tentang Devon Miles, seorang pemuda berkulit hitam yang mendapatkan beasiswa untuk bergabung dengan Atlanta A&T Marching Band University. Walaupun Miles mempunyai bakat yang kuat dalam bermain drum, yang bahkan melebihi kemampuan teman-teman maupun seniornya, dia dipaksa untuk menyadari dan mempelajari bahwa keberhasilan suatu marching band adalah hasil kerja team, dan bukan hasil kerja perorangan. One band, one sound.
Didominasi oleh aktor-aktor berkulit hitam, seperti Nick Cannon sebagai Devon Miles dan Orlando Jones sebagai Dr. Lee, sang konduktor Atlanta A&T Marching Band, Leonard Roberts sebagai Sean Taylor, sang senior .. Drumline berhasil menampilkan kesan sebagai sebuah film yang bersih dan sportif. Murni menggambarkan suasana para remaja yang dengan kecintaan mereka masing-masing terhadap seni musik, bertekad untuk menjadikan team mereka sebagai yang terbaik. Issue ras dan gender yang samar-samar muncul oleh hadirnya seorang kulit putih dan seorang wanita di dalam team mereka, dengan lancar dan manis bisa dinetralisir oleh humor.
Barisan pemain drum di dalam suatu marching band memiliki tantangan yang terberat. Diperlukan kekompakan, kedisiplinan dan mental yang tinggi untuk bisa memukulkan tongkat ke atas drum dengan irama yang tepat, mengharmonisasikan suara-suara drum yang monoton dengan suara alat-alat musik lainnya . Lebih daripada itu, sutradara Charles Stone III menggambarkan Drumline ke sisi showmanship yang sangat menghibur. Para pemain drum bukan hanya merupakan pemain garis belakang dengan snare drum dan bass drum yang besar dan berat menggantung di pundak mereka, tapi mereka juga bisa berperan sebagai pemain garis depan yang mampu mengangkat suasana hati para penontonnya. Dengan koreografi yang cantik, komposisi lagu dengan beat yang atraktif, dan permainan drum yang sangat-sangat mengesankan, marching band seakan lepas dari identiknya mereka dengan upacara-upacara formal. Sudut-sudut kamera yang dinamis mampu merekam setiap gerakan, setiap kilau yang muncul dari drum, simbal dan alat musik lainnya, berpadu dengan cerahnya kostum para pemain .. membawa pergelaran marching band ke dalam suasana pesta yang meriah, semegah dan seindah konser seni.
Gue jadi sedikit menyesal kenapa gue milih bermain lira daripada bermain drum waktu di sekolah dulu.
0 comments:
Post a Comment